JANGAN TERLAMBAT UNTUK
MENGATAKAN
AKU SAYANG IBU
“ Di masa kecil dulu, ibu selalu menggendong aku,
memangku aku, mengayun aku di dalam peluknya, ibu juga yang selalu menenangkan
aku dikala aku menangis, dikala aku bersedih, senyumnya bagai obat penawar rasa
sakit, sayang sekali engkau tak berada disini lagi, bu.”
Aku duduk di depan teras rumah,
duduk melamun seorang diri, tanpa ditemani siapapun, hanya dedaunanan pohon
mangga yang jatuh berguguran karena musim kemarau. Awan yang bergantungan mesra
seolah memanggil-manggil mengajak aku terbang di atasnya. Walaupun sekarang
musim kemarau udaranya tidak panas, angin masih bertiup sepoi-sepoi
membelai-belai rambutku yag ter-urai, membawa pikiranku ketempat diriku
dilahirkan, bayangan desa ku. Desa yang sangat permai, banyak sawah yang
terhampar hijau, apalagi saat musim hujan tiba, semua tanaman bergelayut karena
embun yang siap menetes dari ujung daunnya. Bau segar dari hujan, tanah yang
basah adalah hal yang selalu aku tunggu-tunggu, bermain di genangan air adalah
hal yang mengasyikan, dan itu jarang aku dapatkan disini.
Bayangan rumahku tiba-tiba muncul dalam
lamunanku, rumah yang tak begitu besar, rumah yang terbuat dari kayu yang
sewaktu-waktu siap rubuh tertiup angin. Aku melihat diriku masih kecil bermain
boneka di teras rumah yang tidak beralaskan lantai, hanya beralaskan tanah
merah yang menggumpal di depan rumah. Sering bonekaku kotor apabila jatuh di
teras rumah, namun ibuku tidak pernah memarahi aku, dengan sabarnya membawa
bonekaku untuk dicuci. Akupun tidak peduli dan pergi meninggalkan ibu dengan
boneka kotorku, aku berlari-lari dengan senangnya, mengejar teman-temanku yang terlebih
dulu meninggalkan aku. Ibu hanya menghela nafas menyaksikan aku berlari dengan
suka citanya. Saat aku berlari mengejar mereka, aku terpeleset jatuh,
tersungkur dengan muka mnyentuh tanah, tubuh kecilku pun tak berdaya, dengan
sigap ibu berlari menuju arahku, menggendong aku yang saat itu menjerit-jerit
kesakitan. Ibu memarahi aku karna aku kurang hati-hati. Tangisku tidak
terpecahkan lagi semakin menjadi-jadi ketika ibu meneteskan obat merah dilukaku.
Dan kemudian ibu menyuruh aku untuk tidur, namun aku merengek dengan manjanya,
aku merangkul ibu mintak digendong. Ibu hanya tersenyum dan menuruti semua
keinginanku, aku tahu saat itu ibu tidak kuat menggendong aku, tapi ibu
berusaha sekuat mungkin menggendongku, agar aku tidak menanngis lagi.
Saat aku mulai beranjak remaja, aku
mulai sibuk dengan duniaku, dunia anak SMA. Pernah saat itu, ibu baru saja membeli
Hand Phone Esia, dengan polosnya ibu meminta aku untuk mengajarinya, bagaimana
cara menelvon, mengirim pesan. Akupun tidak menolak untuk mengajarkan ibu,
namun beberapa kali aku mengajarkan hal itu, ibu masih saja tidak paham dan
masih saja tidak paham. Akupun mulai kesal, dan menghembuskan nafas panjang
tanda bahwa aku mulai kesal dengan ibu yang tidak pernah paham. Ibu menatapku
dengan mata berbinar-binar, walaupun aku tidak mengatakan kata-kata kasar namun
ibu sudah merasa, bahwa aku lelah mengajarinya.
Aku masih ingat saat itu ibu
memaksakan senyumnya untuk menutupi kesedihan hatinya, dengan lembut ibu
mengelus rambutku, menicium keningku, dan mengatakan “maafkan ibu telah menyita
waktumu nak, tidurlah dengan nyenyak”, dengan langkah gontai ibu meninggalkan
aku di kamar sendirian, menutup pintu kamar dengan pelan. Bayangan ibu hilang
seiring pintu mulai rapat ditutup, aku menyadari apa kesalahanku, tak terasa
air mata ini menetes jatuh, betapa jahatnya aku sebagai seorang anak yang tidak
pernah memikirkan perasaan seorang ibu.
Pagi hari saat aku mau berangkat sekolah, ibu
telah siap dengan masakan yang dihidangkan untuk sarapan, ibu memaksaku untuk
makan, beliau khawatir kalau aku terkena penyakit maag karena jarang sarapan di
rumah, dengan cuweknya aku berlalu begitu saja, menatap makanannya pun aku tak
sempat. Ibu setengah berlari menghampiri aku dengan membawa piring dan gelas
minuman, berharap kalau aku belum berangkat. Sekali lagi ibu memaksaku untuk
sarapan terlebih dahulu, akupun tetap ngotot untuk tidak sarapan, dengan sibuk
mengikat tali sepatu ku, ibu menyuapi aku, satu, dua kali suapan aku masih bisa
melahap makanan itu, tapi untuk suapan ketiga aku mulai enggan untuk makan. Ibu
masih saja memaksaku untuk makan suapan ketiga itu, namun aku menolak dengan
kerasnya. Akupun berlalu meninggalkan ibu yang masih berdiri membawa piring dan
gelas minum.
Tiba-tiba ada kilat yang menyambar,
seketika itu aku tersentak kaget dari lamunanku, dan membawa diriku kembali
kedunia nyata, meninggalkan kampung halamanku dan masa laluku, awan biru yang
tadinya aku lihat menawan sekarang berubah wujud menjadi gelap kehitaman, awan
itu masih menggelayut di atas, ku tatap terus bentuk awan itu, ia bergerak
beriringan, namun terasa gontai untuk bergerak, karena beban yang ada di awan
tersebut, memaksa ia berjalan lambat. Titik-titik putih bening berjatuhan di
bumi, begitu anggunnya mereka, mereka datang disaat waktu yang tepat, saat
tumbuhan dan mahluk hidup lainnya membutuhkannya untuk melangsungkan hidup. Ya
ini adalah hujan pertama yang terjadi setelah bumi kekeringan lama tidak
tersentuh dengan kelembutannya.
Aku amati rintikan air hujan
tersebut, jatuh begitu anggunnya, memecah tanah dengan hentakan airnya, dan
membekas dengan lubang-lubang ditanah. Hal itu terus berlanjut hingga hujan
semakin deras, ku sandarkan tubuh ini di dinding teras rumah, menikmati suasana
hujan dan bau segar yang ditimbulkannya,
ku edarkan mataku untuk melihat di lingkungan sekitarku, tiba-tiba mataku
tertuju kepada seorang ibu tua dengan seorang anak kecil, yang duduk berpelukan
di toko depan rumahku. Rupanya mereka sedang berteduh, dengan lembutnya ibu itu
merangkul anaknya, agar anak itu tidak kedinginan. Jaket yang dia pakai, ia
lepaskan dan ia pasangkan ke tubuh anaknya, ia rangkul lagi sampai anaknya
benar-benar merasakan kehangatan.
Jiwaku bergetar hebat ketika
melihat kejadian itu, aku teringat kembali dengan kehidupanku dulu di kampung.
Sore hari aku dan ibuku sedang bersanda gurau, ditengah-tengah gelak tawa itu,
tiba-tiba ibu mencium pipiku, dan mengatakan “kamu sudah dewasa nak, dan akan
pergi meninggalkan ibu yang sudah tua ini dirumah”.
Ia hentikan
perkataannya, kemudian menatapku tajam. Dan melanjutkan perkataannya kembali. “bagimana
mungkin peri kecilku ini akan hidup sendiri, siapa yang akan memberikan dia
obat di saat perutnya sakit, dan siapa yang akan mencium keningnya disaat ia
beranjak tidur”. Akupun membalas mencium pipi ibuku, terasa kerutan-kerutan di
pipi beliau, aku sentuh, aku raba, betapa kasihannya ibuku. Ia tidak pernah
mengurusi dirinya, samapi kerutan-kerutan itu terlihat begitu nyata, kemudian
ibu tersenyum manis, beliau berkata ”nak ini adalah pesan yang dikirim oleh
Allah,kepada ibumu, agar ibumu lebih dekat denganNya”. Aku tak kuat mendengar
kata-kata ibu itu, aku sandarkan kepalaku dipangkuannya, aku ingin
bermanja-manja dengan ibu, sebelum aku pergi menuju kota untuk menempuh
pendidikan yang lebih tinggi.
Di usiaku 18 tahun, aku mulai
beranjak dewasa dan mulai pergi meninggalkan
kampong halaman, di teras rumah itulah aku dilepas pergi oleh ayah dan
ibuku, di rumah itulah semua kenangan manis terukir disana, ibu merangkulku,
mencoba menanhan tagisnya agar tidak menetes, namun hal itu gagal ia lakukan
air mata itu terus saja menetes melepas kepergianku. Itulah saat terakhir
belaian yang aku rasakan, sekali lagi ibu membelai rambutku, mnecium keningku,
dan memeluk aku kembali, air mataku juga menettes tak kalah hebatnya dengan air
mata ibu, ibu memberikan pesan, aku harus bisa menjadi anak yang sukses, nasib
keluarga ada ditanganmu nak, sambil mnempuk bahuku. Aku hanya mengnaggung
pelan, tak kurat menahan air mata.
Aku selalu melungkan waktu untuk
menelvon ibu, walaupun aku hanya menelvon untuk mengabarkan uang yang dikirim
sudah habis, namun ibuku sennag aku sudah menelvonnya, walaupun sering aku lupa untuk mennanyakan bagaimana kabarnya, itulah yang membuat aku
menyesal sampai sekarang ini. saat kuliyah aku hanya pulang 2kali dalam
setahun, itupun kalau aku tidak sibuk dengan urusan di kampus, dan selama aku
kuliayah lebih sering pulang 1tahun sekali, namun ibuku masih berharap kalau
aku bisa pulang 2x dalam setahun itu, aku hanay mengiyakan dan saat itu aku
tidak bersungguh-sungguh dalam berucap, saat ID Fitri yang ketiga aku
dinantinantikan ibu untuk pulang, ibu menelvon dengan isak tangis ketika aku
mengatakan kalau aku tidak dapat pulang, ibu memohon mohon agara aku dapat
pulang, aku memaklumi karena setahun yang lalu aku tidak pulang k rumah.
Lagi-lagi aku hnay meng-iakan itu, perasaan itu semakin hancur, etika mendapati
aku tidak menetapi janji untuk pulang kerumah. Padahal saat itu ibu sakit
parah, ibu terkena penyakit kanker rahim, dan orang yang din anti-nanti adalah
aku. Parahnya aku tidak menyadari itu
Masa kuliayah 4 tahun telah aku lalaui dengan baik, wisudaku tinggal 2
hari lagi, semuanya aku siapkan dengan matang, selain aku membeli kebaya
untukku aku juga membelikan untuk ibu, aku berharap ibu mau memakainya disaat
aku diwisuda nanti, tepat pada tanggal 22 Juni 2010 aku diwisuda dengan
predikat sebagai mahasiswa terbaik. Aku senang sekali karena pada saat aku
diwisuda bertepatan dengan hari ulang tahun ibuku yang ke-58, aku ingin
menghadiahkan prestasi ini kepada ibu. Aku berharap ini adalah hadiah terindah
yang tidak akan dilupakan oleh ibu.
Semua rombongan dari keluarga wisuda telah datang, aku menunggu dengan cemas
dimana rombongan keluargaku, dengan membawa kebaya untuk ibu, seorang laki-laki
tua sekitar umur 65 datang menghampiri aku dengan senyum yang dipaksa, dari
kejauhan aku tidak dapat mnegenalinya, karena mungkin aku sudah lama tidak
pulang. Ya itu adalah ayahku. Aku mennayakan dimana ibu, mengapa ayah hanya
datang sendirian. Ayah tidak menjawab pertanyaan itu, beliau hanya diam dan
diam. Kemudian sebutir Kristal putih bening menentes dari mata ayahku, ia
menangis sampai sesenggukan, ia memeluk aku dengan erat,ia pelan ia mengatakan
“ nak, ibumu telah tiada, ibumu meninggal 1 tahun yang lalu, karena penyakit
kanker rahim”. Aku terguncang hebat sampai taki sadarkan diri. Aku ingat 1
tahun yang lalu adalah ID Fitri yang ketiga yang saat itu ibu memaksa aku untuk
pulang, namun aku tak menghiraukan perkataan ibu. Aku sangat menyesal. Ayah bercerita panjang lebar ketika
aku sadarkan diri. Aku mempertanyakan mengapa ayah tidak menghubunginya saat
ibu kritis, ayah hanya menangis dan menjelaskan bahwa ibumu tidak mengizinkan
ayah mengubungimu, dia mengatakan biarkan kamu sibuk dengan duniamu sendiri.
Saat itu aku tahu betapa kasih sayang seorang ibu, padahal dulu saat aku
ditelvon selalu akumenagtakan akan aku telvon lagi, aku sedang sibuk, atau aku
tidak sempat menanyakan keadaan ibu. Dan semuanya telah terlambat.
Air mataku tidak bisa terbendung
lagi ketika menyaksikan ibu itu memeluk anaknya, seperti dulu saat ibu memeluk
aku. Tiba-tiba dari arah belakang seorang anak laki-laki berusia sekitar 3
tahun berlari dan memeluk aku dari belakang, sontak aku kaget dan lamunanku buyar. Aku berbalik badan dan
membalas pelukan anakku, ku ciumi dia dengan kasih sayang, ku peluk lagi.
Dengan tangan kecilnya ia menghapus air mataku, ia menanyakan mengapa aku
menangis, namun aku hanya tersenyum sambil berkata, ibu sayang kamu nak,
jadilah jagoan ibu yang mampu melindungi ibu di hari tua ibu. Si kecil hanay
menganggung saja, dan memeluk aku lagi, ku balas pelukannya, kuciumi keningnya,
dalam hati ku berkata, ibu tidak akan meninggalkan kamu, ibu syang kamu nak.
peluk ibu kalian sebelum kalian tidak bisa memeluknya lagi
Sekian